WELCOME

SElAMAT DATANG BAGI KAUM PENCARI ILMU

HI.....,
Makasih ya buat teman-teman sekalian,
rela meluangkan waktunya singgah di pondok kami....
kiranya bermanfaat dan jika ada saran dan kritik
tolong ya sampai in.......
HORASSSSS..

Rabu, 19 Maret 2008

PENGGOLONGAN OBAT DI INDONESIA

Obat-obat yang beredar di pasaran Indonesia, digolongkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) dalam empat penggolongan umum, yaitu :

  1. Obat narkotika
  2. Obat keras
  3. Obat bebas terbatas
  4. Obat bebas

Penggolongan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasannya pada bagian kemasan yang segera terlihat.

Obat Narkotika

Kemasan obat golongan ini ditandai dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat palang (+) berwarna merah. Obat narkotika bersifat adiksi dan penggunaannya diawasi dengan ketat, sehingga obat golongan narkotika hanya dapat diperoleh dengan resep dokter yang asli (tidak dapat menggunakan copy resep). Contoh dari obat narkotika antara lain, opium, coca, ganja/marijuana, morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kedokteran, obat-obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetika/obat penghilang rasa sakit.

Obat Keras

Kemasan obat keras ditandai dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras merupakan obat yang hanya bisa diresepkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/antihipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung.

Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain, obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas (analgetik-antipiretika), beberapa suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat antiseptika, obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini masih termasuk obat keras tapi dapat dibeli tanpa resep dokter, sehingga penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker Penanggung jawab.

Obat Bebas

Obat bebas ditandai dengan lingkaran berwarna hijau denga tepi lingkaran berwarna hitam. Obat bebas umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa analgetik-antipiretik, dan beberapa antasida.

PSIKOTERAPI SUPORTIF

Pendahuluan

Mekanisme daya tahan mental yang terganggu dapat menyebabkan terjadinya neurosis, yaitu suatu gangguan jiwa yang secara struktural tanpa kerusakan organik dan dapat mempengaruhi kepribadian. Adanya konflik sering bermanifestasi dalam bentuk fenomena tertentu. Semua gangguan mekanisme daya tahan mental bersifat selalu melawan atau menentang usaha-usaha terapeutik yang bertujuan untuk mengubah atau meniadakan gangguan tersebut. Hal ini memunculkan peranan dari terapi alternatif salah satunya adalah psikoterapi.1

Psikoterapi merupakan metode pengobatan terhadap gangguan emosional dengan cara merubah pola berpikir dan pola perasaan agar terjadi keseimbangan di dalam diri individu tersebut dengan model ilmu kedokteran. Psikoterapi dapat juga didefenisikan dengan metode pengobatan terhadap gangguan kesulitan yang bersifat emosional dengan cara psikologi. Dalam psikoterapi sangat diperlukan hubungan yang baik antara pasien dan dokter.2

Menurut Wolberg,2 psikoterapi adalah sejenis pengobatan yang digunakan oleh seseorang yang terlatuh secara khusus (terapis) terhadap kesulitan penderita yang bersifat emosional dengan jalan meletakkan hubungan yang bersifat profesional dengan seseorang penderita dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah, atau memperlambat gejala-gejala yang ada, ataupun perantaraan dalam berbagai gangguan pola kelakan serta menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang positif terhadap kepribadian penderita.

Jadi maksudnya, terapis menyoroti secara pribadi dan individual sensitivitas pasien terhadap pengalaman hidup. Juga berusaha secara spesifik memajukan pengertian pasien tentang hal-hal tersebut tadi untuk memperkuat kesanggupannya menghadapi diri sendiri dan reaksi yang ditimbulkannya. Disamping itu terapis berusaha agar pasien bertambah mahir menguasai hidupnya.

Siapa yang memerlukan psikoterapi adalah seseorang yang pada tahun-tahun permulaan perkembangan jiwanya terjadi kesalahan sehingga akan meninggalkan sifat-sifat infantil dalam dirinya dan kemudian diikuti suatu keadaan dimana dia gagal di dalam kehidupannya.

Tujuan Psikoterapi3, 4, 5

1. Menguatkan daya tahan mental yang telah dimilikinya, dengan kata lain membuat seseorang itu bahagia dan sejahtera.

2. Mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru dan yang lebih baik untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri, ataupun membuat seseorang tahu dan mengerti tentang dirinya.

3. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya.

Klasifikasi Psikoterapi2

Jenis psikoterapi dapat ditinjau berdasarkan :

1. Jumlah individu

a. Individual

b. Kelompok (grup)

2. Cara atau peralatannya

a. Verbal

b. Non verbal

3. Tehnik pelaksanaan

a. Suportif

b. Reedukatif

c. Rekonstruksi

Pelaksana Psikoterapi2, 4

Pelaksana psikoterapi adalah seorang psikiater. Untuk itu terapis itu sendiri juga harus mempunyai syarat-syarat antara lain :

1. Harus menyukai sesama manusia

2. Harus mempunyai kapasitas memproyeksikan dirinya ke dalam situasi dan perasaan yang lain (menyesuaikan diri)

3. Mampu untuk mengerti motivasi orang lain

4. Tidak boleh menggurui

5. Harus dapat berperan sebagai orangtua, bos abang, kakak, atau teman, tapi tidak sebagai adik

6. Harus ada rasa aman dalam dirinya terlepas dari ansietas, finansial, dan egosentrik.

Peralatan yang Digunakan2, 3

Dalam hal ini peralatan yang digunakan adalah “percakapan” dan adanya hubungan pasien dengan dokter serta suatu tempat tertentu. Sebaiknya tempatnya yang nyaman yang jauh dari keramaian sehingga pasien dapat merasa santai.

Efek Samping2

Efek samping psikoterapi dapat berupa :

1. Menjadi lebih parah dari penyakitnya, misalnya : dari neurosa menjadi psikosa

2. Bisa timbul suicide (bunuh diri)

3. Ketergantungan (dalam istilah psikoanalisa disebut dengan Narcisstic Transference)

Defenisi

Psikoterapi suportif adalah suatu bentuk terapi alternatif yang mempunyai tujuan untuk menolong pasien beradaptasi dengan baik terhadap suatu masalah yang dihadapi dan untuk mendapatkan suatu kenyamanan hidup terhadap gangguan psikisnya. Untuk mengembalikan keadaan jiwa yang rapuh ataupun mengalami gangguan ke arah keseimbangan, yang terutama dilakukan adalah menekan ataupun mengontrol gejala-gejala yang terjadi dan untuk menstabilkan pasien ke dalam suasana yang aman dan terlindungi untuk melawan ataupun menghadapi tekanan yang mungkin saja berat naik yang datang dari luar maupun dari dalam dirinya.3, 4

Tujuan2,3

1. Menaikkan fungsi psikologi dan sosial

2. Menyokong harga dirinya dan keyakinan dirinya sebanyak mungkin

3. Menyadari realitas, keterbatasannya, agar dapat diterima

4. Mencegah terjadinya relaps

5. Bertujuan agar penyesuaian baik

6. Mencegah ketergantungan pada dokter

7. Memindahkan dukungan profesional kepada keluarga

Indikasi1,3,4,5

Secara umum psikoterapi suportif diindikasikan pada pada psien yang mana kontraindikasi terhadap psikoanalisi ataupun psikoterapi insight-oriented psychoanalitic, mempunyai pertahanan ego yang kurang.

Secara garis besar terapi ini diindikasikan terhadap :

1. Seseorang yang dalam keadaan kritis dan kacau serta tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah, yang menghasilkan kecemasan berat dan kebingungan (contoh, orang yang mengalami kesedihan yang berat, kesakitan, perceraian, atau kehilangan pekerjaan ataupun mereka yang pernah menjadi korban kejahatan, penganiayaan, bencana alam, ataupun kecelakaan)

2. Pasien dengan penyakit yang berat dan kronik disertai dengan kerapuhan ataupun kelemahan fungsi ego (contoh, mereka dengan psikosis yang laten, gangguan impuls, gangguan kepribadian berat)

3. Pasien dengan defisit kognitif dan gejala-gejala fisik yang membuat mereka menjadi lemah dan tidak cocok dilakukan pendekatan insight-oriented (contoh, pasien psikosomatik)

4. Pasien dengan toleransi kecemasan yang rendah dan kesulitan mengendalikan frustasi.

5. Pasien dengan kelemahan psikologi yang sesuai dengan fungsi kognitifnya

6. Mereka yang kesulitan membedakan kenyataan luar dengan dari dalam dirinya

7. Pasien yang mengalami gangguan berat dalam hubungan interpersonal

8. Mereka yang mengalami kelemahan dalam mengontrol impuls dan akhirnya mereka melakukan tindakan yang buruk

9. Pasien dengan intelegensia yang kurang dan kapasitas yang lemah terhadap pengamatan dirinya sendiri

10. Pasien yang memiliki keterbatasan yang berat untuk mengadakan hubungan terapeutik dengan terapis.

Syarat Pemberian Psikoterapi Suportif2,3

1. Pasien dengan taraf pendidikan yang tidak begitu tinggi

2. Gangguan bersifat sedang

3. Kepribadian premorbid pasien yang kuat disertai dengan adanya pemulihan diri yang kuat.

Komponen Psikoterapi Suportif3,5,6

1) Ventilasi yaitu bentuk psikoterapi yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pasien untuk mengemukakan isi hatinya dan sebagai hasilnya ia akan merasa lega serta keluhannya akan berkurang.

a) Sikap terapis yaitu menjadi pendengar yang baik dan penuh pengertian

b) Topik pembicaraan yaitu permasalahan yang menjadi stress utama

2) Persuasi yaitu psikoterapi suportif yang dilakukan dengan menerangkan secara masuk akal tentang gejala-gejala penyakitnya yang timbul akibat cara berpikir, perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang dihadapinya.

a) Terapis berusaha membangun, mengubah, dan menguatkan impuls tertentu serta membebaskannya dari impuls yang mengganggu secara masuk akal dan sesuai hati nurani.

b) Berusaha menyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa gejalanya akan hilang.

3) Sugestif yaitu psikoterapi yang berusaha menanamkan kepercayaan pada pasien bahwa gejala gangguannya akan hilang.

a) Sikap terapis, meyakinkan dengan tegas bahwa gejala pasien akan hilang

b) Topik pembicaraan, gejala-gejala bukan karena kerusakan organik/fisik dan timbulnya gejala-gejala tersebut adalah tidak logis

4) Reassurance yaitu psikoterapi yang berusaha meyakinkan kembali kemampuan pasien bahwa ia sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya.

a) Sikap terapis, meyakinkan secara tegas dengan menunjukkan hasil-hasil yang telah dicapai pasien.

b) Topik pembicaraan, pengalaman pasien yang berhasil nyata

5) Bimbingan yaitu psikoterapi yang memberi nasehat dengan penuh wibawa dan pengertian.

a) Sikap terapis, menyampaikan nesehat dengan penuh wibawa dan pengertian

b) Topik pembicaraan, cara hubungan antar manusia, cara berkomunikasi, cara bekerja yang baik, dan cara belajar yang baik.

6) Penyuluhan atau konseling yaitu psikoterapi yang membantu pasien mengerti dirinya sendiri secara lebih baik, agar ia dapat mengatasi permasalahannya dan dapat menyesuaikan diri.

a) Sikap terapis, menyampaikan secara halus dan penuh kearifan

b) Topik pembicaraan, masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan, dan pribadi.

7) Kerja kasus sosial yaitu suatu proses bantuan oleh seseorang yang terlatih kepada seorang pasien yang memerlukan satu atau lebih pelayanan sosial khusus. Tidak diadakan usaha mengubah pola dasar kepribadian pasien ataupun hanya hendak menangani masalah situasi pada tingkat realistik.

8) Terapi kerja yaitu berupa sekedar memberi kesibukan kepada pasien ataupun berupa latihan kerja tertentu agar ia terampil dalam hal itu dan berguna baginya untuk mencari nafkah kelak.

9) Hipnosa dapat membantu psikoterapi akan tetapi apa yang dapat dicapai dengan hipnosa dalam psikoterapi dapat juga dicapai dengan cara lain tanpa hipnosa. Hipnosa hanya dapat mempercepat pengaruh psikoterapi.

10) Terapi perilaku, berusaha untuk menghilangkan masalah perilaku khusus secepat-cepatnya dengan mengawasi perilaku belajar pasien.

Faktor Keberhasilan Terapi2

Keberhasilan psikoterapi dipengaruhi oleh,

1) Masalah

2) Perkembangan diagnosa

3) Umur penderita

4) Intelegensia penderita

5) Kematangan emosi

6) Situasi keluarga, sosial, dan finansial

7) Fleksibilitas penderita.

Beberapa Contoh Penerapan5

Gangguan psikotik

· Sikap terapis, berusaha menjadi orang yang dapat dipercaya pasien, misalnya dengan bicara penuh keakraban, ingat akan hari ulang tahunnya, makanan kesukaannya, dan kesenangannya yang lain, serta penuh pengertian padanya.

· Pelaksanaan terapi :

a) Terapi ventilasi bila pasien mengalami banyak keluhan realistik, seperti makanan yang tidak enak, tidak diberi uang jajan, dilarang keluar rumah, dan tidak boleh sering mandi.

b) Memberikan terapi reassurance bila pasien meragukan masa depannya setelah sembuh nanti

c) Memberikan bimbingan dan penyuluhan sehingga pasien lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setelah sembuh nanti.

Gangguan somatisasi

· Sikap terapis, dapat menerima keluhan fisik pasien dan tidak langsung menentangnya, tetapi terapis tidak melakukan eksplorasi keluhan fisik terlalu jauh.

· Pelaksanaan terapi :

a) Memberi bimbingan agar pasien dapat menghadapi gejala-gejalanya

b) Terapi ventilasi agar pasien dapat mengemukakan semua perasaannyayang menjadi latar belakang gejala fisik tersebut.

c) Terapi penyuluhan agar pasien dapat menemukan strategi alternatif dalam mengekspresikan perasaannya.

Gangguan penyesuaian

· Sikap terapis, memberikan perhatian, empati dan memahami pasien secara berhati-hati agar tidak timbul keuntungan sekunder (secondary gain) dalam proses psikoterapi tersebut.

· Pelaksanaan terapi :

a) Terapi ventilasi agar pasien dapat mengemukakan semua keluhan cemas dan depresinya

b) Bimbingan agar pasien dapat menghadapi gejalanya

c) Memberikan penyuluhan agar pasien dapat mengatasi permasalahannya yang mungkin akan dihadapinya lagi.

Rabu, 12 Maret 2008

Status Epileptikus

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan kematian.1 Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.

Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.2 Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit.

Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.

I.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Syaraf RS. H. Adam Malik Medan. Selain daripada itu makalah ini juga dapat menambah wawasan kita dalam mengerti apa yang dimaksud dengan Status Epileptikus, dan bagaimana patofisiologinya serta penatalaksanaanya.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Defenisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

II.2 Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

II.3 Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.

II.4 Etiologi dan Patofisiologi

Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Tabel 1. Etiologi status epileptikus

  • Alkohol
  • Anoksia
  • Antikonvulsan-withdrawal
  • Penyakit cerebrovaskular
  • Epilepsi kronik
  • Infeksi SSP
  • Toksisitas obat-obatan
  • Metabolik
  • Trauma
  • tumor

Tabel 2. Komplikasi status epileptikus

  • Otak
    • Peningkatan Tekanan Intra Kranial
    • Oedema serebri
    • Trombosis arteri dan vena otak
    • Disfungsi kognitif
  • Gagal Ginjal
    • Myoglobinuria, rhabdomiolisis
  • Gagal Nafas
    • Apnoe
    • Pneumonia
    • Hipoksia, hiperkapni
    • Gagal nafas
  • Pelepasan Katekolamin
    • Hipertensi
    • Oedema paru
    • Aritmia
    • Glikosuria, dilatasi pupil
    • Hipersekresi, hiperpireksia
  • Jantung
    • Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
  • Metabolik dan Sistemik
    • Dehidrasi
    • Asidosis
    • Hiper/hipoglikemia
    • Hiperkalemia, hiponatremia
    • Kegagalan multiorgan
  • Idiopatik
    • Fraktur, tromboplebitis, DIC

II.5 Gambaran klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

D. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

E. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

F. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

H. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

II.6 Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat

Dosis (mg/kg)

Persentase

1. Lorazepam

0,1

65 %

2. Phenobarbitone

15

59 %

3. Diazepam + Fenitoin

0.15 + 18

56 %

4. Fenitoin

18

44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

(EFA, 1993)

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubuh

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan dan Saran

Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.

Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut. Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus, dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.

Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus, maka diharapkan prognosa pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.